Selasa, 05 Juni 2012

Presiden Syariah Untuk Bersihkan Syirik Demokrasi

KH Muhammad Al Khaththath
Sekjen FUI


Selasa akhir bulan lalu saya bezoek KH. Abu Bakar Ba’asyir di rumah tahanan Mabes Polri Jakarta. Alhamdulillah, Ustadz Abu yang didampingi Ahmad Mihdan, SH dan beberapa rekan pengacara tampak sehat dan segar bugar dalam usianya yang sudah 70-an. Ada beberapa aktivis JAT dan asisten setia beliau Ustadz Hasyim Abdullah, seorang aktivis Missi Islam Jakarta.

Sebelumnya saya sempat mendapat telpon dari Akhi Firman, pimpinan JAT Jakarta bahwa Ustadz Abu ingin bertukar pikiran dengan saya seputar presiden syariah setelah beliau membaca laporan SI yang menyebut Presiden Syariah sebagai salah satu tuntutan FUI dalam Aksi Indonesia Tanpa Maksiat di Istana Negara 30 Maret lalu.  Tuntutan FUI tersebut, “Turunkan SBY, angkat presiden syariah” sempat dikoreksi di istana memoderasi permintaan Menkopolhukam Djoko Suyanto, menjadi “Turunkan SBY, angkat presiden syariah, kecuali sudara SBY siap menjadi presiden syariah”.

Saya menyampaikan kepada Ustadz Abu dan ikhwan-ikhwan yang hadir dalam ruang bezoek bahwa beberapa waktu sebelumnya saya sempat ditanya di Bandung apakah wacana capres syariah yang berarti akan mengikuti pemilu tidak terjerumus dalam jurang kemusyrikan?

Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan apa yang dimaksud dengan syirik dalam system demokrasi? Yakni menjadikan hukum manusia sebagai hukum yang diberlakukan atas manusia dengan mencampakkan hukum syariat Allah SWT.   Padahal Allah SWT memastikan bahwa wewenang membuat hukum atas manusia itu hanya ada pada-Nya.  Allah SWT berfirman:

…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al An’am 57).

Masalah syirik dalam system demokrasi, dan inilah substansi demokrasi mengapa diharamkan, adalah pada penetapan hukum manusia yang menyalahi hukum syariat Allah SWT.  Hakikat syirik itu dapat kita lihat dalam firman Allah SWT:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(QS. At Taubah 31).

Ketika Nabi Muhammad saw. membacakan ayat tersebut, delegasi kaum Nasrani yang dipimpin oleh putra kepala suku mereka, Adi bin Hatim at Tha’iy, mengatakan: “Mereka tidak pernah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib itu”.

Rasulullah saw. menjawab: “Benar, tetapi orang-orang alim dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram lalu mereka mengikutinya.  Itulah peribadatan mereka (kaum Yahudi dan Nasrani itu) kepada mereka (para alim dna rahib)”.

Keterangan Rasulullah saw. tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan syirik, yakni mempertuhankan para ahbar (ulama Yahudi) dan ruhban (para rahib Nasrani) sebagai tuhan-tuhan selain Allah,  adalah tindakan mereka memposisikan hukum yang dibuat oleh para ahbar dan ruhban tersebut sebagai hukum yang berlaku yang menghapus halal dan haramnya Allah SWT. Bukanlah karena mereka beribadah secara ritual seperti ruku’ dan sujud kepada para ahbar dan ruhban tersebut. Tetapi semata-mata mentaati hukum yang menyalahi hukum syariat Allah SWT. Disinilah kesamaan produk hukum parlemen dalam system demokrasi dengan produk hukum para ahbar dan ruhban dalam ayat tersebut, yakni hukum manusia yang menyalahi syariat Allah SWT, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Wal’iyaadzubillah!

Oleh karena itu, jika ada lembaga wakil rakyat atau pemerintah yang menetapkan undang-undang yang “menghalalkan apa yang dihalalkan Allah” dan “mengharamkan apa yang diharamkan Allah” maka itu bukan termasuk penetapan yang bernilai syirik, tapi justru bernilai tauhid, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat “padahal mereka hanya diperintah untuk beribadah kepada tuhan yang satu”.

Oleh karena itu, kita perlu wakil rakyat yang mampu menyusun undang-undang yang tauhid untuk menggantikan perundangan yang syirik yang masih berlaku. Dan kita perlu presiden yang mendekritkan penggantian system hukum sekuler kepada system hukum syariah sebagai wujud nyata mengubah system syirik dalam system demokrasi kepada tauhid yang diperintahkan Allah SWT.

Koordinator TPM Ahmad Mihdan SH membenarkan apa yang saya terangkan. Dan Ustadz Abu menegaskan, kalau ada presiden yang mendekritkan berlakunya syariat, maka itulah presidwen yang harus dipilih! Allahu Akbar!

Saya menyambut apa yang beliau sampaikan. Itulah wacana capres yang kita gulirkan adalah untuk mendekritkan apa yang Ustadz Abu sampaikan, yakni manakala capres syariah terpilih sebagai Presiden NKRI.Pada waktu itu insyaallah semua orang-orang mukmin akan bergembira…Wallahua’lam!

sumber: http://suara-islam.com/detail.php?kid=4540

Tidak ada komentar:

Posting Komentar