Rabu, 22 Agustus 2012

Indonesia Bukan Negara Islam, Pemerintah Bukan Ulil Amri

Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Berawal dari Sidang Itsbat penentuan Hari Raya Idul Fitri 1432 H/2011 lalu yang digelar Kementerian Agama di Jakarta. Waktu itu wakil Muhammadiyah, Dr. Abdul Fatah Wibisono, MA., benar-benar “dihabisi” peserta Sidang Itsbat dari salah satu ormas Islam. Bahkan salah seorang ahli Astronomi dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) yang sengaja didatangkan Kemenag, Prof Dr Thomas Jamaluddin, menyerang habis-habisan pendirian Muhammadiyah yang tetap mempertahankan metode hisab dengan kata kata “jumud, ketinggalan jaman, keras kepala” dan seabrek kata-kata kasar lainnya. Padahal Muhammadiyah adalah ormas Islam modern terbesar di Indonesia  yang berusia lebih dari 100 tahun dengan jumlah umat mencapai 30 juta orang lebih dengan mayoritas cendekiawan terkemuka di negeri ini.

Meski Muhammadiyah yang sudah legowo menerima perbedaan kemudian meminta izin bagi hari libur nasional untuk tanggal 30 Agustus 2011. Tapi Pemerintah tak mengabulkannya, karena Idul Fitri versi pemerintah jatuh pada 31 Agustus 2011. Inilah yang kemudian disesalkan Muhammadiyah. Sehingga, Muhammadiyah akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi seputar Sidang Itsbat melalui surat tertanggal 19 Oktober 2011 yang ditandatangani Ketua Umum Prof Dr Din Syamsuddin, MA dan Sekretaris Umum Dr Abdul Mu’ti yang ditujukan langsung kepada Menteri Agama Republik Indonesia. Dalam surat itu, ada beberapa pokok poin penting yang disampaikan Muhammadiyah terkait permasalahan yang keluar akibat perbedaan keputusan dalam Sidang Itsbat tahun 2011 tersebut.

Pertama, Muhammadiyah memandang bahwa pelaksanaan Sidang Itsbat yang sengaja diselenggarakan secara terbuka dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi itu sudah mengarah kepada penghakiman terhadap kelompok yang berbeda dengan keputusan mayoritas atau Pemerintah, termasuk Muhammadiyah.

Muhammadiyah merasa ada intimidasi dan penghakiman oleh beberapa peserta sidang Itsbat. Intimidasi dilakukan terhadap pendirian Muhammadiyah yang  menggunakan “wujudul hilal” dalam penentuan jatuhnya awal bulan dan penetapan hari raya.

Kedua, Sidang Itsbat sudah tidak lagi membawa semangat persatuan sebagaimana  tujuan awal pembentukannya. Sistem atau dasar ketetapan Sidang Itsbat  cenderung memihak kelompok tertentu, sehingga praktis kelompok lain yang  berbeda disalahkan dan tidak diakomodasi dengan baik. Sidang Itsbat tidak lagi  menghargai pluralitas keberagaman yang menjadi semangat dan identitas Indonesia.

Ketiga, dampak yang paling disesalkan Muhammadiyah adalah adanya anggapan  bahwa Muhammadiyah dan kelompok lain yang berbeda telah membangkang terhadap negara. Bagi Muhammadiyah, anggapan tersebut menggiring kepada kebencian dan merusak semangat Pancasila yang menghormati keberagaman.

Keempat,
berdasarkan berbagai masalah dalam pelaksanaan Sidang Itsbat yang meresahkan dan menimbulkan perpecahan serta kebencian, Muhammadiyah  akhirnya meminta Menteri Agama meniadakan Sidang Itsbat. Muhammadiyah  memandang penetapan hari raya masuk ranah keimanan dan ibadah, dan bukan  urusan politik dan muammalah, apalagi kebijakan politik yang membelenggu  sikap dan sifat keagamaan.

Karena tidak ditanggapi pemerintah melalui Kementerian Agama, akhirnya Muhammadiyah memutuskan tidak lagi mengikuti Sidang Itsbat yang biasa digelar Kementerian Agama untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri 1433 H. Muhammadiyah menilai, dalam Sidang Itsbat selama ini Muhammadiyah hanya menjadi pendengar. Sidang Itsbat pun akhirnya kerap bertentangan dengan asas demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Sebab, menurut Muhammadiyah, di dalamnya tidak ada diskusi dan tukar pikiran. Keputusan hanya berpihak pada golongan yang kuat.

Berikut ini wawancara reporter Suara Islam, Abdul Halim, dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA., seputar penolakannya terhadap Sidang Itsbat dan pendapatnya  mengenai pemerintah bukanlah ulil amri.

Mengapa Muhammadiyah tidak ikut sidang itsbat penentuan awal Ramadhan lalu ?


Kami tidak ikut sidang itsbat. Karena biasanya tidak ada musyawarah dan tidak ada diskusi. Sidang itsbat lebih banyak berisi  pikiran-pikiran subyektif pemerintah. Padahal seharusnya pemerintah mengayomi seluruh umatnya yang berbeda pendapat. Sejak tahun lalu Muhammadiyah sudah mengirim surat tidak akan ikut siding itsbat. Seharusnya pemerintah tidak perlu melakukan itsbat, karena bulan belum dua derajat. Padahal, kan dia (pemerintah) patok minimal dua derajat.

Mengapa jauh-jauh hari Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan 1433 H jatuh pada 20 Juli 2012 ?


Muhammadiyah tak begitu saja menetapkan hari pertama puasa tanpa perhitungan yang jelas. Muhammadiyah tidak bisa menetapkan kapan 1 Ramadhan, kapan 1 Syawal, bahkan sampai 100 tahun yang akan datang. Karena ilmu Falak, ilmu Astronomi itu ilmu pasti. Al Quran menyuruh kita untuk pandai berhitung.

Apakah memang penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah tidak bisa diintervensi pemerintah ? 


Muhammadiyah merasa tidak perlu menghadiri sidang itsbat karena alasan tadi, sebab ini wilayah keyakinan yang tidak boleh diintervensi. Jadi untuk tahun-tahun yang akan datang Muhammadiyah juga tidak boleh diintervensi. Sidang itsbat yang digelar pemerintah hanya terkesan basa-basi. Sebab pemerintah tidak mengakomodir aspirasi-aspirasi yang ada. Apalagi selama ini sidang itsbat itu sidang basa-basi, yang sudah ada keputusannya dan tidak mendengar aspirasi yang sudah ada. Jadi hanya menentukan secara sepihak. Oleh karena itu tidak ada gunanya. Itu sikap Muhammadiyah, mohon juga dihargai.

Saya kira dua pendapat itu tidak bisa dipertemukan yakni menyakini sesuatu dalam melihatnya atau meyakini sesuatu dengan mengetahuinya. Muhammadiyah memakai yang terakhir yaitu meyakini sesuatu dengan mengetahuinya. Meyakini hilal itu sudah dengan mengetahui berdasarkan data-data ilmiah, sedangkan yang satu harus melihatnya. Nah masalahnya kalau tidak kelihatan itu harus menunda 1 hari, jadi biarkanlah menjadi keyakinan, toh kita menetapkan ini keyakinan dan niat untuk beribadah.

Dalam penetapan awal Ramadhan lalu, apakah pemerintah bisa dikatakan sebagai ulil amri sehingga ditaati seluruh keputusannya ?

Masalah penetapan awal bulan Ramadhan lalu yang dilakukan pemerintahan Republik Indonesia bukanlah ulil amri (para pemimpin bagi umat Islam). Pemerintah Republik Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga tak pantas jadi ulil amri. Kalau ditarik pemerintah ulil amri yang harus ditaati, mohon maaf kami tidak sependapat. Pemerintah bukanlah ulil amri, ini bukan negara Islam. Pembentukan atau pemilihan keyakinan itu bukan berdasarkan syariat Islam.

Apakah Kemenag juga bisa disebut sebagai ulil amri ?

Apalagi Kemenag, kalau harus dianggap ulil amri kami tidak sependapat. Sebuah pemerintah yang masih berlaku korup yang melakukan korupsi terhadap kitab suci, ini jauh dari kriteria yang ditaati. Alasan ulil amri harus ditaati dalam hal ini (awal Ramadhan) batal demi hukum. Saya kira biarlah umat Islam menjalankan ibadahnya, insya Allah umat Islam cukup dewasa untuk berbeda pendapat.

Bagaimana perbedaan awal Ramadhan tahun ini dan tahun mendatang ?

Kemungkinan adanya perbedaan awal Ramadhan tahun ini dan tahun mendatang tidak perlu dibesar-besarkan. Saya mengharapkan agar masyarakat beribadah dengan keyakinannya masing-masing.Perbedaan mengawali Ramadhan tidak perlu dibesar-besarkan, karena itu wilayah keyakinan, maka gunakanlah ibadat sesuai dengan keyakinan.

Saya mengimbau kepada seluruh umat Islam agar memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan latihan, baik untuk penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) maupun untuk pengembangan kualitas kejiwaan. Inilah yang paling penting, jadi betul-betul bukan sebagai kerutinan, bukan sebagai kerutinan setiap tahun, tapi betul-betul dijadikan sebagai bulan pelatihan. Muhammadiyah bukan hanya sekarang (menentukan hal yang berbeda), karena wilayah keyakinan bukan wewenang pemerintah dan pemerintah tidak boleh memasuki wilayah keyakinan, melainkan hanya mengayomi.

Rep: Abdul Halim/ Suara Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar