Senin, 25 Juni 2012

Ternyata Dasar Negara Indonesia Bukan Pancasila Tapi Allah

Pertanyaan

Assalamualaikum Wr. Wb.
Ana tertarik dengan apayangdisampaikan Bapak Eggi Sudjana di salah satu stasiun tv swasta, beliau menyampaikan bahwa dasar hukum negara indonesia yang benar adalah hukum Allah SWT
Beliau berpijak dari sisi history dan sosiologi bahwa sesuai dengan pembukaan UUD 1945 negara indonesia berdasarkan atas Ketuhanan YME, dan hanya atas berkat rahmat Allah SWT Indonesia dapat merdeka.
Saya yakin kalau hukum yang bersumber dari Allah SWT ini dapat di terapkan, kita akan bahagia dunia akhirat
Mohon tanggapan Pak Ustadz...!
Terima kasih
Wassalam


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Memang cukup mengejutkan juga apa yang disampaikan oleh Dr Eggi Sudjana SH MSi dalam talkshow di TV swasta malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan sesuai dengan Preambule atau Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah subhanahu wata'ala. Sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah Islam atau hukum Allah SWT.
Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al-Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Mungkin maunya Abdul Muqsith menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Sunnah.
Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?
Abdul Muqsith cukup kaget diserang seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Saat itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang ada justru UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Iya ya, mana teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak terperangah juga mendengar seruan itu.
Entahlah apa ada ahli hukum lain yang bisa menjawabnya. Yang jelas si Abdul Muasith itu hanya bisa diam saja, tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan leh Eggi Sujana.
Dan rasanya kita memang tidak atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila.
Diskusi itu menjadi menarik, lantaran kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45 ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak SD. Pasal 29 UUD 45 aya 1 memang menyebutkan begini:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Lalu siapakah tuhan yang dimaksud dalam pasal ini, jawabannya menurut Eggi adalah Allah SWT. Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah SWT.
Dalam argumentasi mas Eggi, yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Tetapi tuhannnya umat Islam, yaitu Allah SWT.
Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah SWT. Dan hal itu tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami sebagai Allah SWT, bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan yang lain.
Lepas apakah nanti ada ahli hukum tata negara yang bisa menepis pandangan Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, secara jujur harus kita akui harus dikoreksi kembali.
Sebab kalau kita lihat latar belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.
Bahkan awalnya, sila pertama dari Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu: dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Namun lewat tipu muslihat dan kebohongan yang nyata, dan tentunya perdebatan panjang, 7 kata itu harus dihapuskan. Sekedar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen yang merasa keberatan dan main ancam mau memisahkan diri dari NKRI.
Padahal 7 kata itu sama sekali tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang mayoritas muslim, tetapi betapa lucunya, tatkala pihak mayoritas mau menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok bisa-bisanya orang-orang di luar agama Islam pakai acara protes segala. Padahal apa urusannya mereka dengan 7 kata itu.
Kalau dipikir-pikir, betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, di mana mereka sudah ikut campur urusan agama lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka berani nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indoesia bagian timur akan segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus.
Akhirnya dengan legowo para ulama dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi untuk persatuan dan kesatuan. Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih duduk rukun dan akur, kalangan Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini.
Dan semangat penyingkiran Islam dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila.
Sesuatu yang di dalam UUD 45 tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdarakan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah SWT sesuai dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.
Jadi sangat tepat kalau kalangan sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini.
Namanya perjuangan, pasti mereka akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan bahan untuk dijadikan alibi yang menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka memang alergi dengan Islam. Seolah-olah Islam itu harus dimusuhi, atau merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai.
Kita harus akui bahwa kalangan sekuler anti Islam itu cukup banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik negara ini menajdi komunis dari pada jadi negara Islam. Astaghfirullahaladzhim.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Sabtu, 23 Juni 2012

Kisah di Balik Terhapusnya Piagam Jakarta

 Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!

Sebagaimana ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.
Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol  ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.

Ki Bagus Hadikusumo
Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah  rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.  KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

KH A Wahid Hasyim
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.
”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.
Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam memoirnya,
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen) telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.

Teuku Muhammad Hasan
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.

Muhammad Hatta
Seolah ingin mengobati rasa bersalah atas penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Dadanya seperti meledak, ingin menyuarakan aspirasi umat Islam yang telah dikhianati.
Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Soekarno, saat pemilu 1955
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih  hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Suasana Sidang Pembahasan Piagam Jakarta
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan  menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam  di Dewan Konstituante  sekarang ini difait-a complikan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya  untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat Islam.
Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan! (Artawijaya/salam-online.com)

Jumat, 22 Juni 2012

22 Juni, Seputar Piagam Jakarta: Soekarno Berkhianat & Bohong, Hatta Berdusta!

JAKARTA (salam-online.com): Tanggal 22 Juni adalah hari yang bersejarah. Piagam Jakarta ditandatangani. Inti dari Piagam Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi kaum Muslimin—sebagai ganti republik ini belum menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Tetapi, setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17 Agustus  1945 yang merupakan hari gembira bagi bangsa Indonesia karena diproklamirkannya kemerdekaan, namun sehari setelah proklamasi, 18 agustus 1945, adalah hari kelam bagi Umat Islam Indonesia.  Pada hari itu kesepakatan antara umat Islam dengan kelompok nasionalis dan Non-Muslim dikhianati.
Tujuh kata yang menjamin penegakan syariat Islam  di Indonesia dihapus. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya disebut sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil kelompok Islam yang menjadi anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Perdebatan alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa Piagam Jakarta. Islam tidak menjadi dasar Negara, namun kewajiban bagi para pemeluknya diatur dalam kontitusi.
BPUPKI kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah tersebut di tetapkan sebagai Mukaddimah UUD.
Pada tanggal 7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)  yang di ketuai oleh Soekarno. Piagam Jakarta bertahan sebagai Mukaddimah  UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang sehari kemudian dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang selanjutnya dibantu para pengkhianat.  Padahal A.A Maramis  yang menjadi wakil Kristen di PPKI sudah setuju dengan piagam tersebut dan ikut menandatangani.
Rekayasa Politik
Kronologi penghapusan Piagam Jakarta cukup misterius. Pada tanggal 18 Agustus Moh. Hatta mengaku ditemui oleh seorang perwira angkatan laut jepang. Katanya, opsir itu menyampaikan pesan berisi “ancaman” dari tokoh Kristen di Indonesia timur. Jika tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia merdeka.
Hatta dan Soekarno, yang memang termasuk kelompok sekuler, kemudian membujuk anggota PPKI dari kelompok Muslim untuk menyetujui penghapusan tujuh kata itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras tak mau. Menurut Ki Bagus, itu berarti mencederai gentlemen agreement (Kesepakatan di antara para pria terhormat) yang sudah mereka sepakati bersama. Soekarno dan Hatta kemudian menyuruh Tengku Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah seperti Ki Bagus) untuk membujuk Ki Bagus. Kasman-lah yang berhasil meyakinkan, terutama dengan janji syariat Islam akan masuk kembali dalam dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam bulan kemudian. Dan, kenyataannya, Soekarno ingkar janji. Para pemimpin Islam kena tipu mulut manisnya Soekarno. Jadi, kelak, itulah salah satu alasan utama yang melatarbelakangi timbulnya perjuangan DI-TII pimpinan Kartosuwirjo.
Kelak Kasman sangat menyesali peran dalam penghapusan tujuh kata tersebut. Ternyata hal tersebut berujung pada nasib tragis umat Islam di Indonesia yang mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan syariat di dalam negeri sendiri.  Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu menangis jika teringat perannya membujuk Ki Bagus.
Misteri Opsir Jepang
Pertanyaan pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai wafatnya, Hatta tak pernah  membuka mulut siapa pemberi dan penyampai pesan itu. Ia mengaku lupa (atau pura-pura lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red) siapa nama opsir jepang tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa pemberi pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten dari Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan sebagai nama universitas di Manado.
Artawijaya, dalam Peristiwa 18 Agustus 1945: “Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam Jakarta”, menguraikan beberapa teori yang mungkin bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama,  soal Opsir Jepang, Artawijaya mengambil teori Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martoesewojo dkk, dalam bukunya “Mahasiswa ’45 Prapatan 10”. Menurut Ridwan, anggapan bahwa ada opsir jepang yang datang ke rumah Hatta  pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira Opsir Jepang oleh Hatta. (Ini aneh.  Jika betul Hatta mengira Slamet sebagai opsir Jepang, apa dia, Hatta, tidak bertanya tentang Slamet, kenapa bisa langsung menyimpulkan sebagai opsir Jepang?)
Lalu untuk apa para mahasiswa itu mendatangi Hatta? Menurut penelitian Artawijaya, pada saat proklamasi 17 agustus 1945 dibacakan di jalan Pegangsaan 56, Jakarta, tak ada satu pun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut.
Kenapa tokoh Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu?
Menurut Artawijaya, para aktivis Kristen tengah sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia timur, dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis mahasiswa. Mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka, sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Pada saat itu Latuharhaary sengaja mengajak  dr. Sam Ratulangi, I Gusti ketut Pudja, dan dua aktivis asal Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan mengharap isu ini juga menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Kelompok mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinnya pukul  17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Setelah berdialog Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta malam itu juga para mahasiswa menelpon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia timur.
Tokoh dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00 WIB, tanggal 17 agustus 1945. Ratulangi meminta mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya.
Berdasarkan fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang piagam Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan, Dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius opsir Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an astune Christian politician from Manado, north Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Manado, Sulawesi Utara).
Jadi, menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan fakta bahwa yang ia temui bukanlah seorang opsir Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan disangka Opsir Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan pakaiannya mirip orang jepang. Sementara tokoh Indonesia timur yang membawa pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir Jepang, memangnya kenapa, tetap tak ada juga alasan untuk berkhianat, red).
Kaum Islamfobia
Pendek cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu, beberapa perubahan terkait peran Islam dalam kontitusi juga danulir.  Terkait pertanyaan ketiga, benarkah Indonesia Timur yang mayoritas Kristen tak akan melepaskan diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta?
Sejarah kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi modal klaim kelompok Kristen itu ternyata tetap berusaha melepaskan diri dari naungan NKRI—meskipun tujuh kata sebagai pengorbanan umat Islam itu sudah dihapus. Tapi, walaupun umat Islam (khususnya para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah dikhianati, dikadalin dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran dari pengalaman pahit ini!
Pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara membuktikan, tanpa tujuh kata tentang Syariat Islam pun, kelompok Kristen memang tak betah bernaung di bawah NKRI. Kelak kebencian itu menggelora lagi di kawasan yang sama. Sekian abad dimanja Belanda sebagai warga kelas satu membuat kelompok Kristen tak sudi dipimpin oleh Muslim.
Faktanya lagi, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan yang memenuhi aspirasi kelompok Kristen), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu ternyata tetap sangat kuat keinginannya untuk  melepaskan diri dari Indonesia. Munculnya gerakan RMS, FKM, Kongres Papua, Papua Merdeka, adalah sebagai bukti. Demikian pula, peristiwa Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi  rebutan posisi politik lokal menunjukkan sinyalemen tersebut.
Yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul tragedi hitam bagi umat Islam yang berbuntut panjang di masa depan. Umat Islam tertipu atau ditipu, dikhianati dan dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak peristiwa umat Islam negeri ini masih juga tak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya. Kerap gagap, kegigit lidah dan mudah jadi pecundang! Atau mengalah demi toleransi yang padahal golongan lain (yang minoritas) itu pun tak pernah mau bertoleransi dengan umat yang mayoritas ini.
Sebagai contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya sendiri yang diatur melalui Piagam Jakarta, lantas apa urusannya kelompok lain keberatan? Kenapa mereka menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat yang diatur dengan aturan yang dibuat sendiri oleh umat Islam?   Begitu pula dengan sejumlah Perda yang mengatur umat Islam, kenapa harus sewot jika kaum Muslimin melaksanakan ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda itu?
Belakangan, ketika sejumlah Perda yang mengatur pelaksanaan syariah untuk umat Islam muncul, kelompok yang dulu menolak Piagam Jakarta, termasuk kaum sekuler dan liberal saat ini, kembali sewot! Padahal, Soekarno sendiri dalam dekritnya, 5 Juli 1959, jelas-jelas menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi, jika sekarang umat Islam mengatur dirinya melalui Perda Syariah, itu sah-sah saja, dan sangat sesuai dengan UUD ’45, karena Piagam Jakarta itu menjiwai UUD.
Itu, baru segitu, kelompok yang sebenarnya tidak benar-benar berjuang untuk Indonesia merdeka (karena mereka lebih suka dipimpin penjajah yang ideologinya sama), mereka sudah sewot dan menusuk dari belakang. Nah, bagaimana jika umat Islam negeri ini menggugat dan menagih janji diberlakukannya Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang berdasarkan Islam, sebagaimana janji Soekarno?
Sebab, walau bagaimanapun, umat mayoritas ini berhak merealisasikan Piagam Jakarta—lantaran penghapusan tujuh kata dan pengebirian kesepakatan lainnya dalam UUD 45 itu adalah tidak sah. Piagam Jakarta itu sudah disepakati dan disahkan pada 22 Juni 1945, dan golongan Kristen, AA Maramis pun sudah tanda tangan!
Jadi, jika Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan merupakan hak umat Islam sebagai bagian pelaksanaan Piagam Jakarta. Sedang penghapusan tujuh kata itu dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil-wakil Islam yang bersama-sama kelompok nasionalis-sekuler dan wakil dari golongan Kristen menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Karenanya, sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah. Dengan demikian, Piagam Jakarta itu sampai sekarang tetap berlaku. Apalagi disebutkan,  UUD 45 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sementara Dasar Negara Islam yang dijanjikan belum jua diberlakukan, karena pengkhianatan, pembohongan dan penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.
(Disunting dan diperbarui kembali oleh salam-online.com dari Majalah An-Najah Edisi 72).

Selasa, 05 Juni 2012

Jangan Takut Tegakkan Syariat Islam

Jangan Takut Menegakkan Syariat Islam! (Pesan Buya Hamka & M Natsir)





Isu Negara Islam Indonesia, radikalisme, dan terorisme yang ditayangkan hampir setiap hari di media massa nasional setidaknya mampu membentuk opini di masyarakat—khususnya mereka yang awam terhadap gerakan Islam, untuk mencurigai setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas keislaman. Di kampung-kampung, pasca hebohnya pemberitaan tentang NII, masyarakat menaruh kecurigaan terhadap gerakan-gerakan yang selama ini menuntut diberlakukannya sistem Islam dalam pemerintahan, tegaknya syariat Islam, dan menuntut dihentikannya kezhaliman global yang dipertontonkan AS dan sekutu-sekutunya. Apalagi, dalam pemberitaan selalu digambarkan bahwa mereka yang terlibat dalam NII dan terorisme menggunakan atribut-atribut seperti jilbab panjang dan bercadar bagi perempuan, celana cingkrang, berjanggut dan jidat hitam bagi laki-laki.

Tak hanya itu, isu ini juga sukses membuat aktivis parpol Islam sibuk menangkis tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII. Klarifikasi terhadap tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII sah-sah saja. Tapi, setidaknya klarifikasi itu tidak diiringi dengan kata-kata yang terkesan sok dan arogan, dengan mengatakan bahwa gagasan negara Islam adalah “ide kampungan”. Katakanlah tak setuju dengan ide negara Islam atau label negara Islam, setidaknya tak perlu mengeluarkan kata-kata yang terkesan arogan dan merasa paling paham soal konsep bernegara. Apalagi, isu NII ini kuat dugaan adalah rekayasa intelijen yang ingin memberangus ide-ide Islam.

Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam yang terkesan mengidap inferiority complex alias minder dengan identitas Islam. Mereka selalu mengelak jika dituding ingin menegakkan syariat Islam. Seolah-olah syariat Islam adalah boomerang yang bisa menghancurkan karir politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya. Islam tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena itu, bagi mereka politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman. Koor ini disambut meriah oleh para politisi dan pengamat politik sekular. Gaung soal partai terbuka dianggap lebih modern dan tidak kampungan. Untuk terlihat matching sebagai partai terbuka dan modern, acara-acara pun diselenggarakan di hotel-hotel mewah. Logika sederhana mengatakan, di tengah umat yang dihimpit oleh kemiskinan, apakah pantas mengadakan acara bermegah-megahan?

Atas nama persatuan dan kesatuan, siasat politik dan toleransi, banyak elit-elit politik Islam yang menghindar jika dituding sebagai bagian dari kelompok yang mempunyai agenda penegakkan syariat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Seolah-olah “cap” sebagai penegak syariat akan melunturkan citra politiknya dan membuatnya terasing dari pentas politik.

Terkait dengan hal ini, Allahyarham Mohammad Natsir, tokoh Partai Masyumi, menyatakan,
“Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang beragama Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) telah berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih banyak, lantaran tidak menggugurkan sebagaian dari peraturan-peraturan agama mereka (agama Islam). Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, hanya semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya “staatkundige”, demokrasi tunggang balik.”

Nasehat bagi mereka yang “takut atau terkesan malu-malu” untuk menegakkan syariat Islam juga disampaikan Buya Hamka. Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menyatakan:
“Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum Allah. Sebab, di awal surah Al-Maaidah sendiri yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah. Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zalim, fasiklah kita kalau kita pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah."

Jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu? Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an itu kita pungkiri?

Dan kalau ditanya orang pula, tidaklah demikan dengan kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang digolongkan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam? Jawablah dengan tegas, “Memang akan kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari Kitab-kitab Suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia. Katakan itu terus terang, dan jangan takut! Dan insflah bahwa rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus menerus dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang yang mengaku beragama Islam pun kemasukan rasa takut itu…” (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 6)

Demikian nasihat M Natsir dan Buya Hamka. Sebagai umat Islam, apalagi aktivis partai Islam, kita harus percaya diri bahwa Islamlah yang cukup dan cakap sebagai aturan dalam mengelola bangsa ini. Apalagi, cita-cita para as-saabiqunal awwalun bangsa ini dalam memerdekaan negeri ini adalah agar hukum Islam bisa ditegakkan, bukan hukum buatan manusia apalagi hukum buatan kolonial. Cita-cita menegakkan Islam harus terus disuarakan dan diperjuangkan. Karena, perjuangan menegakkan syariat Islam adalah perjuangan akidah, bukan perjuangan tawar menawar yang bisa dikompromikan. “Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal; mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat) tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan…” demikian ujar Buya Hamka. (aw).

Source : http://globalkhilafah.blogspot.com

Menuju NKRI Bersyariah


Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Itulah kata-kata Sukarno yang terkenal dengan istilah “Jas Merah”. Sejarah memang merupakan hal penting yang berisi banyak pelajaran dan jalan mengetahui identitas diri. Bagi umat Islam Indonesia, di dalam sejarah bangsa ini kita akan melihat rentetan sejarah panjang umat Islam bangsa Indonesia dalam mempertahankan tanah air, menjaga kehormatan dan berjuang menerapkan syariat Islam.
Sejarah itu adalah perjalanan perjuangan umat Islam bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sejarah itu adalah rentetan kalimat takbir dalam mengusir penjajah dan dakwah untuk islahul ummah (perbaikan umat). Perjuangan yang tulus ikhlas pernah berbuah. Buah dari semua itu adalah dengan di-proklamasikannya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Hari ini, sejarah itu masih terus ditulis dan diukir.

NKRI Harga Mati?
Kita sering mendengar dari sekelompok masyarakat, bahwa berdiri tegaknya NKRI adalah harga mati. Ada juga yang mengatakan bahwa NKRI adalah buah karya perjuangan para ulama yang harus kita hormati dan kita rawat hasilnya. Lalu seperti apakah pengertian yang harus dibangun dari statement “NKRI Harga Mati” tersebut bagi seorang muslim? Bagaimana memaknainya dalam bingkai keislaman kita?
Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa para founding father negara ini adalah para ulama dan mujahid dakwah. Di antara mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan M. Natsir. Tentu saja rumusan konstitusi yang dihasilkan oleh mereka adalah konstitusi yang Islami. Akan tetapi, hari ini kita lihat Pancasila dan UUD 1945 dihadapkan vis a vis dengan umat Islam.
Dr. Adian Husaini dalam bukunya Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (GIP, 2009) menyebut ironi ini dengan “kesalahpahaman dan penyalahpahaman”. Tafsir atas Pancasila disalahpahami dan diselewengkan oleh kelompok sekular yang berkuasa. Dibuatlah seolah-olah Pancasila itu sakti, seolah-olah Pancasila itu segala-galanya. Seolah-olah ia adalah ideologi dan aqidah yang lengkap dan tetap (tsabit). Padahal, di saat yang bersamaan, kelompok politik dibalik gerakan ideologisasi Pancasila yang sekular itu melakukan pengkhianatan terhadap amanat para founding father kita yang telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara an sich.
Pancasila ketika itu dijadikan hanya sebatas penyataan umum untuk mengikat keragaman yang ada di seluruh wilayah tanah air. Namun ikatan tersebut sudah dirumuskan susah-payah dalam musyawarah anggota BPUPKI dan PPKI dengan cita-cita luhur dan amanah yang agung. Cita-cita dan amanah itu adalah Syariat Islam yang tertuang dalam Djakarta Charter dan Muqadimah UUD 1945.
Bahkan, jika kita menengok sejarah kemerdekaan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang diproklamasikan dengan syariat Islam. Pada hari proklamasi kemerdekaan, 7 kata kesepakatan yaitu “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” masih menjadi bagian dari konstitusi yang dideklarasikan. Ketika itu, tentu saja Indonesia patut dan layak untuk disebut sebagai Negara Islam, meskipun belum sempurna.
Setelah dicoretnya 7 kata kesepakatan tersebut dan terjadi berbagai pengkhianatan terhadap proklamasi, Djakarta Charter dan Muqadimah UUD 1945 maka generasi setelah itu mulai melupakan bahwa Negara Pancasila adalah negara yang merdeka atas berkat rahmat Allah dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Saat itu, umat Islam masih dalam kondisi berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyempurnakan penerapan syariat Islam (tathbiqus syariah) dalam kehidupan bernegara. Namun, karena faktor politik, ada banyak hal yang membuat posisi umat Islam terbagi secara faktual. Saat pemerintah Indonesia terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta, muncul gerakan penyelamatan Jawa Barat dari para mujahid yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Gerakan ini kemudian menyatakan diri merdeka dan memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau yang dikenal sebagai DI/TII. Berbagai konflik politik dan pertikaian bermunculan. Perdebatan seputar status negara dan wacana negara Islam pun naik ke permukaan. 
Para tokoh kemerdekaan terus berjuang untuk mengembalikan keutuhan tanah air Indonesia. Para ulama pun melanjutkan perjuangan tathbiqus syariah. Hingga pada saat Presiden Sukarno menyatakan Dekrit 5 Juli 1959, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditetapkan kembali kepada Piagam Jakarta. Kasman Singodimejo menulis dalam biografinya:
“Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan UUD 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai UUD 1945 tersebut. Djakarta Charter dan UUD 1945 merupakan suatu unit atau kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan lagi.” [Hidup Itu Berjuang]

NKRI Bersyariah!
Hari ini Indonesia menangis. Rakyat sudah sedemikian susah, bahkan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Mencermati keadaan NKRI yang cenderung semakin tidak stabil  dan keadaan semakin kacau akibat tatanan ekonomi yang semakin kapitalistik-liberalistik, di mana seluruh sektor kekayaan rakyat dikuasai oleh antek-antek dan pemodal asing serta sistem politik yang semakin berbiaya tinggi akibat sistem pilihan langsung demokratis liberal. Penerapan sistem ekonomi dan politik liberal yang sangat berpihak kepada asing dan mengeksploitasi rakyat yang mayoritas muslim ini menyebabkan korupsi merajalela, pengangguran semakin banyak, daya beli masyarakat semakin turun, rakyat semakin sengsara, moral ambruk, dan hedonisme merajalela. Munculah gagasan NKRI Bersyariah! Sebuah gagasan yang wajar dan tidak baru. Wajar karena memang setiap umat Islam wajib mengamalkan syariat Islam dalam kehidupannya. Tidak baru karena memang NKRI itu dipersiapkan untuk bersyariah oleh para founding father bangsa ini. Gagasan ini diangkat ke permukaan dan dimotori oleh ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam pada akhir tahun 2011.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya 31 Mei 2005 pernah diadakan sebuah deklarasi Forum Silaturrahim Masyarakat Peduli Syariah (MPS) di Masjid Al-Furqan Dewan Dakwah, Jakarta Pusat. MPS lalu menggagas sosialisasi Gerakan Nasional Penerapan Syari’at Islam dalam Pengelolaan Bangsa & Negara untuk Kejayaan NKRI pada bulan Maret 2009. Bersamaan dengan itu, diterbitkanlah sebuah buku saku yang berjudul, Menepis Islamophobia dalam Pengelolaan NKRI. Buku ini ditulis oleh  Bambang Setyo, Ketua Presidium MPS. Bambang Setyo yang notabene seorang alumni Kursus Reguler Angkatan XXXV Lemhanas tahun 2002 menyatakan dalam buku tersebut, bahwa pada awal reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat RI telah menetapkan Tap MPR RI No. XVIII/MPR/1998 yang isinya adalah pengembalian fungsi Pancasila sebagai dasar negara an sich. Bersamaan dengan ini dicabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Syariat Islam untuk Kemerdekaan Indonesia
Perjalanan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tidak membuat syariat Islam harus dilupakan atau disingkirkan. Bahkan tidak benar jika membenturkan Syariat Islam dengan Pancasila dan Konstitusi. Pancasila bukan untuk menindas hak konstitusional umat Islam. Bahkan Syariat Islam tercantum dalam dokumen hukum yang berulangkali dikukuhkan sebagai konstitusi.
Hari ini, kemaksiatan meluas terjadi dimana-mana.  Dalam sebuah buku yang berjudul Bahaya! Indonesia Menuju Keruntuhan disebut bahwa sebuah bangsa akan hancur jika kemaksiatan merajalela, sedangkan hukum tak mampu menyentuh kejahatan kaum mutrafin (pembesar/pejabat/kapitalis). Atas kegelisahan dan keresahan ini, dan dengan dorongan untuk melanjutkan perjuangan para founding father bangsa ini, umat Islam bangkit untuk menyerukan syariat Islam.
Saat ini, dalam menyerukan tathbiqus syariah, umat Islam bangsa Indonesia seolah-olah terpecah dalam dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Islam, sedangkan kubu kedua menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam. Akan tetapi, mereka memiliki kesepakatan untuk menerapkan syariat Islam.
Perjalanan sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah bergonta-ganti konstitusi. Dr. Anhar Gonggong, seorang guru besar di bidang sejarah bahkan menjelaskan bahwa Indonesia sudah memiliki tiga konstitusi untuk menyelamatkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Beliau dalam bukunya yang berjudul Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Ombak, 2002) menjelaskan secara ringkas dan padat posisi masing-masing konstitusi dalam perspektif sejarah. Beliau berpendapat bahwa merubah konstitusi bukanlah kesalahan. Justru sebaliknya merupakan kesalahan besar jika kita membiarkannya beku. Tentu ini bukan berarti kita boleh mencampakkan hasil karya para founding father bangsa ini. Akan tetapi sebaliknya, kita harus melanjutkan cita-cita mereka. Jangan jadikan konstitusi yang tetap, tapi tetapkanlah syariat Islam sebagai jalan untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki. [red/mrh/ Majalah Tabligh edisi Rajab - Syaban 1433]
sumber: http://tabligh.or.id/2012/menuju-nkri-bersyariah/

Penyelewengan Tafsir Pancasila


Judul        :  Pancasila, bukan untuk menindas hak konstitusional umat Islam (Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman terhadap Pancasila 1945 – 2009)
Penulis     :  Dr. Adian Husaini
Penerbit   : Gema Insani Press, 2009
Fisik          : 262 hal ; 20,3cm
ISBN         : 978-979-007-104-6


Pancasila diakui oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara. Sila-silanya sempat dihafal mati oleh anak-anak sekolah. Bahkan ada hari yang dianggap dan diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Seperti apakah Pancasila itu? Lalu, bagaimana pemahaman dan tafsir yang valid atas sila-silanya?
Dr. Adian Husaini melakukan riset terbatas terhadap dokumen-dokumen sejarah dan mengamati perkembangan perpolitikan di Indonesia, terkait isu Pancasila. Riset yang diakuinya hanya 1 bulan ini dilakukan awalnya untuk merespon wacana yang diangkat oleh media Kristen bernama Tabloid REFORMATA. [h.10]
Di tabloid tersebut beberapa kali diangkat tajuk tentang Syariat Islam vis a vis Pancasila. Seolah-olah mewakili pendapat umum kaum Kristen, Tabloid itu menuding usaha penerapan Syariat Islam di beberapa lembaga formal/legal adalah bertentangan dengan Pancasila dan akan memecah Persatuan dan Kesatuan. Tentu saja pada akhirnya, para aktivis dan pejuang Syariat Islam akan dilabeli sebagai Anti-Pancasila dan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). [h.12-13]
Opini tersebut di atas ternyata terbukti bertentangan dengan pendapat para pendiri bangsa. Dalam buku yang berjudul “Pancasila, Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” dipaparkan beberapa kutipan pendapat BPUPKI dan Tim Sembilan yang menyusun rumusan Pancasila. Para pejuang Islam pendiri NKRI bersepakat bahwa Pancasila adalah dasar dari negara yang akan dibangun berdasarkan ajaran tauhid. Konsepsi ajaran ini  tertuang dalam “tujuh kata” yang dikenal sebagai Piagam Djakarta.
Anehnya, seolah-olah kita lupa, kemudian umat Islam dianggap tidak Pancasilais ketika hendak memperjuangan ‘hak konstitusional’ yang terbukti secara historis. Selama beberapa dekade, Pancasila dijauhkan dari model pemahaman para tokoh Islam perumus Pancasila. Melanjutkan upaya penjajah Belanda untuk menyekularkan Indonesia, kaum Kristen dan Sekular berusaha menyeret Pancasila ke kutub nativisme dan netral agama. Inilah yang disebut oleh penulis buku ini sebagai “Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman”.
Dr. Adian, dalam bukunya ini, menyuguhkan kepada pembaca tentang semangat dan keteguhan para tokoh Islam dalam memperjuangkan Syari’at Islam. Sebut saja Ki Bagoes Hadi Koesumo, tokoh Muhammadiyah yang dalam sidang BPUPK menentang pemisahan dan penghilangan agama dari konstitusi. Ada juga Kyai Saifuddin Zuhri, tokoh Nahdatul Ulama yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama. Lalu ada K.H. Masjkoer yang menuntut agar Islam menjadi agama resmi (secara formal) dituliskan dalam dokumen negara. Sungguh, malulah para generasi penerus karena terlalu abai, jika mereka membaca dan menghayati perjalanan perjuangan para tokoh tersebut.

Piagam Jakarta dan Tafsir Pancasila
Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno telah mengeluarkan Dekrit Presiden yang sangat bersejarah. Di sana telah dikatakan secara resmi bahwa Piagam Jakarta adalah ruh dan jiwa bagi UUD 1945. Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan sejarah telah mencatat peristiwa tersebut. Dengan demikian, Konstitusi negara ini kembali harus menghayati Piagam Jakarta. Tujuh kata sakraldengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyayang pada akhirnya digantikan dengan sinonim “Yang Maha Esa” itu tidak dapat dinihilkan dalam kehidupan bernegara.
Semua pendiri bangsa sepakat bahwa sila pertama adalah jiwa dan landasan bagi seluruh sila lainnya. Sila ini pada awalnya berbunyi, “Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya.” Kemudian atas desakan/ultimatum sebagian kalangan, kalimatnya diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah yang dimaksud sebagai sinonim. Bahkan, jika kita merenungi perkataan-perkataan para tokoh bangsa ini pada sidang konstituante, tentulah kita paham bahwa Syariat Islam adalah cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, saat ini banyak pihak yang berusaha menyeret Pancasila kepada tafsir yang sekular dan anti-agama. Mereka berusaha melakukan berbagai ta’wil atas Pancasila. Akan tetapi, mereka tidak bisa memanipulasi fakta sejarah, bahwa para perumus Pancasila adalah para tokoh Islam.
Penerimaan dan kesepakatan bangsa ini terhadap Piagam Jakarta adalah penerimaan sepenuhnya umat Islam bangsa Indonesia atas perjuangan kemerdekaan. Berkaitan dengan itu, Alamsyah Ratuperwiranegara berkomentar, “Pancasila adalah hadiah umat Islam bagi kemerdekaan dan persatuan Indonesia.” Jika Syariat Islam tidak diterima sebagai hak konstitusional, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Jadi, Pancasila tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Bahkan, Pancasila akan diperkaya dan disuburkan oleh Islam.
Prof. Kasman Singodimejo, salah seorang anggota PPKI mengatakan hubungan antara Syariat Islam dan Pancasila, “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk Pancasila itu sendiri. Dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila. Bahkan menguntungkan Pancasila. Karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.” [h.153]
Senada dengan hal itu, M. Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia mengatakan dalam salah satu makalahnya yang ditulis pada tahun 1952, “Dalam pangkuan Al Qur’an, Pancasila akan hidup subur.” [h.155]
Buku ini bukan hanya mengajak Anda untuk berdiskusi tentang siapa pewaris sah negeri ini. Akan tetapi, bagaimana perjuangan penerapan Syariat Islam itu adalah hak yang sah. Sungguh, Pancasila, bukan untuk menindas hak konstitusional umat Islam! [Emri Dhoha/ Majalah Tabligh edisi Rajab - Syaban 1433]

sumber: http://tabligh.or.id/2012/penyelewengan-tafsir-pancasila/

Presiden Syariah Untuk Bersihkan Syirik Demokrasi

KH Muhammad Al Khaththath
Sekjen FUI


Selasa akhir bulan lalu saya bezoek KH. Abu Bakar Ba’asyir di rumah tahanan Mabes Polri Jakarta. Alhamdulillah, Ustadz Abu yang didampingi Ahmad Mihdan, SH dan beberapa rekan pengacara tampak sehat dan segar bugar dalam usianya yang sudah 70-an. Ada beberapa aktivis JAT dan asisten setia beliau Ustadz Hasyim Abdullah, seorang aktivis Missi Islam Jakarta.

Sebelumnya saya sempat mendapat telpon dari Akhi Firman, pimpinan JAT Jakarta bahwa Ustadz Abu ingin bertukar pikiran dengan saya seputar presiden syariah setelah beliau membaca laporan SI yang menyebut Presiden Syariah sebagai salah satu tuntutan FUI dalam Aksi Indonesia Tanpa Maksiat di Istana Negara 30 Maret lalu.  Tuntutan FUI tersebut, “Turunkan SBY, angkat presiden syariah” sempat dikoreksi di istana memoderasi permintaan Menkopolhukam Djoko Suyanto, menjadi “Turunkan SBY, angkat presiden syariah, kecuali sudara SBY siap menjadi presiden syariah”.

Saya menyampaikan kepada Ustadz Abu dan ikhwan-ikhwan yang hadir dalam ruang bezoek bahwa beberapa waktu sebelumnya saya sempat ditanya di Bandung apakah wacana capres syariah yang berarti akan mengikuti pemilu tidak terjerumus dalam jurang kemusyrikan?

Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan apa yang dimaksud dengan syirik dalam system demokrasi? Yakni menjadikan hukum manusia sebagai hukum yang diberlakukan atas manusia dengan mencampakkan hukum syariat Allah SWT.   Padahal Allah SWT memastikan bahwa wewenang membuat hukum atas manusia itu hanya ada pada-Nya.  Allah SWT berfirman:

…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al An’am 57).

Masalah syirik dalam system demokrasi, dan inilah substansi demokrasi mengapa diharamkan, adalah pada penetapan hukum manusia yang menyalahi hukum syariat Allah SWT.  Hakikat syirik itu dapat kita lihat dalam firman Allah SWT:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(QS. At Taubah 31).

Ketika Nabi Muhammad saw. membacakan ayat tersebut, delegasi kaum Nasrani yang dipimpin oleh putra kepala suku mereka, Adi bin Hatim at Tha’iy, mengatakan: “Mereka tidak pernah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib itu”.

Rasulullah saw. menjawab: “Benar, tetapi orang-orang alim dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram lalu mereka mengikutinya.  Itulah peribadatan mereka (kaum Yahudi dan Nasrani itu) kepada mereka (para alim dna rahib)”.

Keterangan Rasulullah saw. tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan syirik, yakni mempertuhankan para ahbar (ulama Yahudi) dan ruhban (para rahib Nasrani) sebagai tuhan-tuhan selain Allah,  adalah tindakan mereka memposisikan hukum yang dibuat oleh para ahbar dan ruhban tersebut sebagai hukum yang berlaku yang menghapus halal dan haramnya Allah SWT. Bukanlah karena mereka beribadah secara ritual seperti ruku’ dan sujud kepada para ahbar dan ruhban tersebut. Tetapi semata-mata mentaati hukum yang menyalahi hukum syariat Allah SWT. Disinilah kesamaan produk hukum parlemen dalam system demokrasi dengan produk hukum para ahbar dan ruhban dalam ayat tersebut, yakni hukum manusia yang menyalahi syariat Allah SWT, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Wal’iyaadzubillah!

Oleh karena itu, jika ada lembaga wakil rakyat atau pemerintah yang menetapkan undang-undang yang “menghalalkan apa yang dihalalkan Allah” dan “mengharamkan apa yang diharamkan Allah” maka itu bukan termasuk penetapan yang bernilai syirik, tapi justru bernilai tauhid, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat “padahal mereka hanya diperintah untuk beribadah kepada tuhan yang satu”.

Oleh karena itu, kita perlu wakil rakyat yang mampu menyusun undang-undang yang tauhid untuk menggantikan perundangan yang syirik yang masih berlaku. Dan kita perlu presiden yang mendekritkan penggantian system hukum sekuler kepada system hukum syariah sebagai wujud nyata mengubah system syirik dalam system demokrasi kepada tauhid yang diperintahkan Allah SWT.

Koordinator TPM Ahmad Mihdan SH membenarkan apa yang saya terangkan. Dan Ustadz Abu menegaskan, kalau ada presiden yang mendekritkan berlakunya syariat, maka itulah presidwen yang harus dipilih! Allahu Akbar!

Saya menyambut apa yang beliau sampaikan. Itulah wacana capres yang kita gulirkan adalah untuk mendekritkan apa yang Ustadz Abu sampaikan, yakni manakala capres syariah terpilih sebagai Presiden NKRI.Pada waktu itu insyaallah semua orang-orang mukmin akan bergembira…Wallahua’lam!

sumber: http://suara-islam.com/detail.php?kid=4540