Selasa, 05 Juni 2012

Perang Salib, Tujuh Kata, Pancasila, dan Resistensi Diam-Diam

Kaji Karno
Budayawan Muslim, Tinggal di Pasuruan


“Nah”
kata Leopold Weiss dalam “Road to Mecca” bukunya yang otoritatif, “apabila seorang Barat memperbincangkan sesuatu, katakanlah Hiduisme atau Buddhisme, ia akan selalu sadar akan perbedaan-perbedaan asasi antara ideologi-ideologi ini dengan dimilikinya. Ia boleh mengagumi bagian ini dan itu dari ideologi mereka, akan tetapi tak pernah mempertimbangkan kemungkinan menggantikannya dengan miliknya. Karena ia a priori mengakui ketidak mungkinan ini, maka ia sanggup menimbang kultur-kultur yang benar-benar asing semacam itu dengan ketetapan hati dan sering dengan perasaan simpatik. Akan tetapi, bila datang kepada Islam –yang tidak asing bagi nilai-nilai Barat seperti halnya dengan faksafah Hindu dan Budha – maka ketenangan Barat tadi selalu terganggu dengan syak wasangka emosional”  

Untuk menjelaskan pandangan Leopold Weiss, kita harus menoleh ke belakang ketika Paus Urbanus II menghasut orang-orang Kristen untuk memerangi apa yang ia sebut ‘bangsa keji’ yang menguasai Tanah Suci tiga agama; Yahudi, Kristen, dan Islam pada bulan Nopember 1095, sekaligus memproklamasikan ‘piagam peradaban Barat’. Kedengarannya tak masuk akal. Akan tetapi dalam psikoanalis, kelainan yang tidak dapat diterangkan dalam cita-rasa serta prasangka terkenal dengan istilah Idisyncrasis dapat diikuti kembali ke pengalaman pada masa yang paling ‘normatif’, yakni permulaan masa kanak-kanaknya?

Betapa banyak perang telah terjadi di antara bangsa-bangsa dan kemudian terlupakan, dan betapa besar pula kebencian satu terhadap lain bangsa yang dalam masanya tampaknya takkan dapat dihapus, akan tetapi kemudian berubah menjadi persahabatan. Luka yang disebabkan Perang Salib bukanlah terbatas pada bentrokan senjata; kerusakan itu adalah pertama-tama dan terutama adalah luka intelektual, peracunan alam fikiran Barat terhadap dunia Islam dengan perantaraan ‘penyalah tafsiran’ yang melantur atas ajaran dan cita Islam. Sebab apabila panggilan untuk Perang Salib adalah ‘syah’ maka Nabi kaum Muslimin harus dicap sebagai seorang anti Nabi Isa atau dajjal dan agamanya dilukiskan dalam istilah-istilah terkeji sebagai sumber kebejatan dan kedurhakaan. Pada Perang Salib itulah buah-buah pikiran yang paling mengerikan, bahwa Islam adalah suatu agama yang mengajarkan sensualisme yang kasar serta kekejaman tak berperikemanusiaan, hanyalah peraturan-peraturan ritual belaka dan bukan untuk mensucikan hati. Buah fikiran ini masuk ke dalam jiwa orang Barat dan tak hendak keluar lagi. Nabi Muhammad, nabi yang memerintahkan pengikutnya agar menghormati Nabi-Nabi agama lain, telah dihina dengan mengganti namanya menjadi “Mahound”

Merupakan ironi sejarah jika pengalaman Perang Salib, dendam Eropa terhadap Islam diputar kembali sampai pada hari ini. Bayangan Perang Salib, perang yang ‘digagas’ Paus Urbanus II terus mengambang-ambang dan pantang mati sampai hari ini.   

Citra Islam yang dikonsep Barat memperoleh kejelasannya, dan terungkap dalam ‘Polemik Kebudayaan’ yang dimuat di ‘Pujangga Baru’ dan ‘Suara Umum’ antara bulan Agustus sampai dengan September 1935, antara pokok fikiran; St. Takdir Alisyahbana di satu fihakm dengan Sanusi Pane; Dr.Poerbatjaraka; Dr.Sutomo; Tjindarbumi; Adinegora; Dr.M.Amir; dan Ki Hajar Dewantara di fihak lain. Kecuali St. Takdir Alisyahbana, semua yang terlibat dalam polemik memperjuangkan budaya Hindu-India.

Kebencian terhadap Islam yerus berlanjut. Setelah pidato pertama Muh.Yamin, dalam Sidang Pertama tanggal 29 Meik 1945, acara Pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia yang membeberkan konsep 5 Dasar; Peri Kebangsaan; Peri Kebangsaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; Kesejahteraan Rakyat. Maka giliran dari wakil Islam Ki Bagoes Hadikoesoemo mengucapkan pidato pandangannya pada tanggal 31 Mei 1945, dalam acara sidang yang sama.  

“Paduka Tuan Ketua, sidang yang terhormat! Pembicaraan saya yang sedikit panjang ini rupanya sudah cukup dan tidak ada lagi rasanya yang perlu sya paparkan. Maka akan saya tutup pidato saya ini dengan mendo’a kepada Allah: “Mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi Negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh” Amin!

Pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dari golongan Islam yang hanya diwakili oleh 5 orang dari keseluruhan anggota BPUPKI yang berjumlah 60 orang kemudian ada tambahan 6 orang jadi total berjumlah 66 orang langsung diserang oleh Soepomo pada kesempatan acara sidang, dan tanggal yang sama. Tanggal 31 Mei 1945. Soepomo adalah anggota Saikoo Hooin, lahir dengan nama Raden Soepomo pada tanggal 22 Januari 1903 di Sukoharjo (Solo), bergelar Profesor, Master, Doktor, lulusan Universitas Leiden. 

“……Jikalau di Indonesia didirikan Negara Islam, Kata Soepomo dalam pidatonya, “maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden” soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. Meskipun Negara Islam akan menjamin dengan sebai-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan Negara. Oleh karena itu, cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai denga cita-cita Negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang telah ‘dianjurkan’ (tanda kutip dari saya) oleh Pemerintah Balatentara. (Risalah Sidang-Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hal.44-59).  

Perang Salib ‘pantang mati’ terus berlanjut, juga masih dalam sidang-sidang BPUPKI. Giliran Sukarno dalam lanjutan acara sidang tentang Dasar Negara Indonesia, pada tanggal 1 Juni (Hari lahir Pancasila?). Dalam pidato pandangannya, substansinya kurang lebih sama dengan pandangan Moh.Yamin, hanya saja Sukarno menamakan k- 5 Dasarnya itu dengan istilah ‘Pancasila” 

“Saya minta” Kata Sukarno, “ saudara Ki Bagoeshadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan , “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakana bahwa dasar ‘pertama’ (tanda kutip dari saya) buat Indonesia ialah dasar ke  b a n g s a a n. Itu bukan berarti satu kebangssan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionale staat (Risalah, hal. 93). 

Selanjutnya Sukarno menawarkan 5 prinsip yaitu: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme; atau perikemanusiaan; Mufakat, atau demokrasi; Kesejahteraan soial; dan prinsip yang terakhir ke-Tuhanan. Masih dalam penjelasan 5 prinsipnya yang dinamakan Pancasila, Sukarno memeras lima dasar itu menjadi 3 saja. “Barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Aoakah satu itu?” Maka Sukarno memerasnya menjadi satu perkataan saja yaitu; gotong-royong’ (Risalah, hal. 102-103). Prinsip 5 dasar yang ditawarkan Sukarno yang dinamakan Pancasila masih merupakan usulan yang belum ditetapkan dalam UUD 1945.

Lima dasar yang ditawarkan Moh.Yamin, dan kemudian Sukarno menamakan Pancasila bukan berarti tidak menimbulkan persoalan-persoalan di kelak kemudian hari. Misalnya, polemik tentang ‘bias’ Pancasila versi Sukarno yang dijadikan ideology Negara, hari kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 di satu fihak, dan ‘lima dasar’ dalam Preambule UUD 1945 yang susunanya berbeda jauh dengan lima dasanya Moh.Yamin, dan ‘Pncasila’-nya Sukarno di fihak lain. Legalitas dasar Negara Republik Indonesia bagi kaum nasionalis tentu saja Pancasila-nya Sukarno yang nyaris dipeluk seperti ‘agama’. Dan tidak mempermasalahkan (mengabaikan) susunan hukum dasar dalam Preambule pada UUD 1945.  

Lima dasar yang telah ditetapkan dan tercantum dalam ‘preambule’ pada alinea ke-empat berbunyi; “……, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu hukum dasar Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tunanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan memujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”     

Yang menjadi pertanyaan selama bertahun-tahun, yang telah banyak menumpahkan darah warga Negara sendiri tentang ‘azas tunggal’ Pancasila yang tidak disebut dalam hukum dasar UUD 1945, lalu yang menjadi idiologi Negara itu azas ‘lima dasar’-nya Yamin, Pancasila ‘lima prinsip’ versi Bung Karno, atau ‘lima dasar’ yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak ada kata ‘Pancasila’-nya?  

Rancangan Pembukaan Undang Dasar dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI dan para anggota Chuo Sang-In, dan dirumuskan oleh Sembilan orang yaitu; Ir.Sukarno, Drs.Mohammat Hatta, Mr.AA.Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Soebarjo, Wachid Hasyim, dan Mr.Muhammad Yamin. Perhatian utama dari Panitia Sembilan ini adalah mencari modus, persetujuan antara fihak Islam dan fihak kebangsaan yang perseteruan itu timbul sejak sidang-sidang BPUPKI pertama. 

Meskipun demikian resistensi terhadap Islam tidak pernah pudar. Sehari setelah membicarakan bentuk Negara tanggal 10 Juli 1945, yang juga membentuk panitia Sembilan untuk merancang preambule hukum dasar, pada tanggal 11 Juli Latuharhary keberatan atas dicantumkannya ‘tujuh kata’ dalam ‘preambule’ Latuharhary menyatakan argumennya:”…..Kalau diwajibkan pada pemeluk-pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu kalimat ini akan dipergunakan terhadap adat istiadat di sini, umpamanya terhadap hak tanah. Tanah itu bukan saja diwariskan pada anak-anak yang beragma Islam, tetapi juga yang beragama Kristen. Jadi kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap pada adat istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat”  

Pernyataan ‘tendensius’ warisan Perang Salib di atas dijawab oleh H. Agus Salim: “…..wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak Indonesia Merdeka, biarpun tidak ada hokum dasar Indonesia, itu adalah hak umat Islam yang dipegangnya”

Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 akhirnya dihapus pada sidang PPKI 1945 oleh Muhammat Hatta atas ‘ancaman’ utusan golongan Indonesia Timur, dengan alasan yang berbeda dengan Latuharhary yaitu; apabila ‘tujuh kata’ tidak dihapus maka rakyat Indonesia Timur tidak mau bergabung dengan Indonesia yang hendak dibentuk. Ternyata alasan ini hanya sebagai alat saja untuk tidak melibatkan Islam dalam Negara. Terbukti orang Indonesia Timur (Kristen) tidak sepenuh hati bergabung dengan NKRI dengan membiarkan RMS berkeliaran dengan bebas. Sasaran ‘kebenciannya’ bisa berupa apa saja; FPI, MMI, FUI dengan alasan organisasi yang suka ‘kekerasan’, tapi sebenarnya sasaran ‘latent’-nya adalah Islam, baik ‘Islam garis keras’ maupun Islam ‘garis empuk’
  
Pasuruan 31 Mei 2012

sumber: http://suara-islam.com/read4680-Perang-Salib,-Tujuh-Kata,-Pancasila,-dan-Resistensi-Diam-Diam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar